Sabtu, 23 Mei 2020

Mencegah Turnover Salesman


Tim Marketing Vs Tim Sales (Namun Ada yang Paling Penting)
#Hal Yang Dibutuhkan oleh Salesman
#Tentang Salesman
#Keinginan Salesman
#Penetrasi Produk
#Apa yang menyebabkan salesman keluar masuk.
#Cegah Turnover Salesman

Perhelatan antara tim Marketing dan tim sales selalu menimbulkan polemik ataupun  apologi. Terutama mengenai asal muasal penetrasi produk dari pabrik sampai  ke tangan konsumen.  Marketing yang kebanyakan tinggal di kantor pusat  berpikiran seperti  seorang cenayang merangkup  teori S2-nya marketing Philip Kotler. Tim marketing  berusaha menerangkan  kepada salesman pada kondisi  daif di sore hari, justru pada saat juru jual itu capai telah  berkelana seharian mengunjungi toko sesuai rutenya.  Tim marketing  menerangkan bahwa produk yang  diampunya  secara riset konsumen sudah sesuai  dengan  kebutuhan  pembeli,  baik dari segi kualitas maupun harga,  Sehingga tim sales seharusnya gampang mendistribusikannya  bagai kacang goreng. Sementara itu tim sales beranggapan bahwa produk tersebut harus mempunyai  stimuli awal berupa iklan agar toko percaya diri membuka orderan dan memajangnya.  Sehingga tidak terjadi bak kacang goreng bulukan  yang produknya kadaluarsa  dan tidak jadi dibeli  oleh konsumen.

      Tim marketing mengatakan produknya sudah kuat, tinggal tim sales yang harus bereaksi. Tim sales memberikan bukti gampangkah penetrasi produk tersebut? Bila di survey di area padat yang tidak terjangkau transportasi, bagaimana produk itu bisa sampai di sana? Siapakah yang menggerakan?


Sungsang tempat terkecil tapi ramai, di mana tempat panduan distribusi barang via perahu dan beca motor. Produk apa saja yang diingat konsumen itulah yang diorder toko. betulkah?


                    Seorang  jabatan Sales Akselelator  ditugaskan sebagai pelerai untuk bisa menemukan dan menelaah apa yang terjadi sesungguhnya  proses bisnis di distributor . Bagaimana suatu produk itu secara alamiah sesuai SOP bisa sampai ke konsumen yang ditargetkan? Oleh karena itulah sebagai pilot project ia mendatangi suatu area terpencil tapi padat yang bernama area Sungsang. Wilayah Sungsang merupakan area  padat penduduk  di muara  Sungai Musi yang  menghadap  Selat  Bangka di Kabupaten Bayuasin, Sumatera Selatan.  Yang menarik di area ini banyak sekali toko, namun mobil pengiriman barang tidak bisa masuk ke area padat penduduk karena jalan yang sempit  yang  hanya bisa dilewati bento (becak motor) dan motoris kanvas yang langsung membawa barang.  Di toko-toko area Sungsang sudah berjejer merk-merk produk  yang berasal dari multinational company seperti Unilever, Frisian Flag, Indofood  dan Nestle. Tanpa adanya kunjungan rutin salesman yang mempunyai rute ke sana . Jadi, siapakah yang berperan mendistribusikan produk-produk tertentu? Ternyata  grosir dan pengepul besar yang bekerja sama dengan distributor lokal di kota Palembang yang mempunyai perihal penting pendistribusian barang sampai pelosok.
Kondisi jalan utama di pemukiman padat Sungsang
Distribusi hanya bisa mengunakan beca motor. Hanya produk-produk Top Of Mind konsumen yang di order toko. (Kekuatan marketing atau kekuatan sales?)

                      Distributor lokal, mitra bisnis yang  selalu menjadi pembahasan  substansial di setiap perbalahan antara tim sales dan tim marketing. Hanya sayangnya  yang dibahas  biasanya  hanya presentase marjin dan klaim promo.  Jauh di dasar itu,  ada yang sangat penting. Mengingat distributor lokal  ibarat seorang  tuan tanah yang  tahu persis akan detil tata letak dan kebijakan wilayahnya. Dan di dalamnya ada tim penjualan yang  tahu areanya. Mereka  berasal dari penduduk lokal. Permasalahan selanjutnya , apa yang dibutuhkan salesman untuk betah bekerja? Sehingga tidak menjadi  turnover sehingga tidak menggangu produktivitas  kinerja  dalam mendistribusikan suatu produk? Sang Sales Akselerator dengan Owner distributor membuka forum meeting dengan salesman. Mereka dipersilakan  untuk mengungkapkan unek-uneknya  sehingga mereka bisa loyal?  Tentu saja mereka semua terdiam ibarat prajurit  sedang  duduk di meja makan sang raja. Matanya luyut menatap nota-nota tagihan dan orderan yang tepat di hadapannya. Sehingga disebarkanlah sebuah  quisioner tanpa nama di mana hasilnya bisa membuat jajaran line supervisor sampai manajer,  merenung. Bukan lagi perhelatan antara tim Sales vs Marketing tapi internal people yang menggerakan produk itu, harapannya apa? Salesman distributor, salesman toko, salesman pengepul, begini yang menstimuli mereka supaya bisa terus bergerak..
Warung-warung di area Sungsang. kalau bukan tim Sales, siapa yang bisa penetrasi ke sini? Asal..............mengerti tiga dasar kebutuhan salesman.
Perjalanan sebuah distribusi dan kekuatan merek bersatu. Salesman toko lokal , menggunakan digitalkah?

                       Hal yang paling  primer menurut salesman; tentu saja bonus  atau insentif yang ia dapatkan per bulan yang  besarannya minimal sama seperti UMR ( bila salesman di distributor)  di daerah  di mana mereka  bekerja. Hal yang lumrah.  Apa pun paremeter pencapaian bonus, mereka akan mengejarnya sampai dapat.  Apalagi salesman coblokan yang ada di toko-toko dan area terpencil , apapun yang diparameterkan berbentuk uang itu yang akan dikejar duluan, makin besar yang  bunus dari produk yang di fokuskan , produk itulah yang akan paling banyak di jual. Hal yang paling  bermakna selain itu adalah :   jenjang karir, salesman di hatinya mengharapkan adanya jenjang karir di distributor tersebut ataupun di tempat lain. Minimal rata-rata  rentang waktu 2-5 tahun. Dan yang terakhir yang paling berpengaruh terhadap keloyalan salesman adalah reward interpersonal relationship superiornya. Apakah ia pernah  disapa oleh owner-nya? Apakah ia pernah diajak secara individual untuk membahas  cara  peningkatan kinerja? Apakah pernah di training di lapangan? Apakah pernah di coaching? Apakah pernah diajak makan bersama atau sekedar nongkrong bareng? Apakah pernah ditelpon hanya untuk menanyakan kabar? Kado kelahiran anaknya? Memotivasinya? Mari renungkan…


Perjalanan menuju ke Sungsang. Kadang internet masih terputus.
                   
Sebatas mata memandang jalan kosong. Hanya salesman hebat yang mau distribusi  dan task force barang ke sana
 Di era belum seratus persen digital  serta  kondisi  wilayah geografi  Indonesia. Salesman lokal yang mengerti teritori masih sangat    berpengaruh  bagi perkembangan bisnis distribusi. Peran sumber daya manusia  yang bertempat tinggal di daerah pelosok masih tetap diperlukan untuk mendistribusikan suatu produk. Beberapa  daerah tetap bisa menyerap demand  suatu produk. Namun tetap  memerlukan seorang  salesman. Salesman yang   mengetahui  teritori wilayahnya. Jadi , peran distributor lokal dengan  tim yang mengerti areanya sebagai andalan prinsipal untuk bisa mencapai target distribusi penyebaran produk . Tim salesman sebagai frontliner sebagai ujung tombak yang harus dibina  secara langsung oleh jajaran supervisornya bukan dilatih secara digital terleh dahulu,  namun memotivasinya karena dengan keterbatasan pendidikan mereka menginginkan tetap ada ‘sentuhan’ oleh atasannya.
Tempat melihat produk mana saja yang bisa  masuk ke area ini.
Sekarang dari segi konsumen. Faktor apakah masyarakat di sana  mengingat merek produk  meski mereka berada ditempat terpencil ? Tunggu bahasan selanjutnya

Di manakah Perputaran Uang itu (Tim Sales yang menangkap peluangnya)


#Penting Bagi yang Ingin Mengerti Dunia Sales
#Mari Jadi Sales
#Di lapangan semua menjadi jelas
#Bagaimana Mencapai Target
#Sales Lapangan
#Field Training
# Ilmu Untuk Management Trainee Sales
#Simpelnya Pertumbuhan Ekonomi yang dirasakan rakyat

              Di manakah Perputaran Uang itu? Strategi Awal Menjadi Seorang Sales

Purwakarta, beberapa tahun yang lalu…
                Diot, seorang sarjana lulusan PTN ternama di Bandung, memulai pekerjaan barunya sebagai penjual susu saset. Ia ditempatkan oleh perusahaannya di Kabupaten Purwakarta  sebagai seorang prinsipal  pabrik  untuk mengawasi tim penjualan di distributor lokal setempat.  Satu  bulan pertamanya ia harus menjadi salesman penjual susu sachet. Setelah itu, akan naik  jabatannya sebagai  supervisor yang  harus mengembangkan stategi marketing ATL* (Above The Line) & BTL* (Below The Line) di areanya. Tidak disangka keberaniannya menjawab tantangan menjadi seorang sales bisa mengubah  pola pandang akan kehidupannya, kedewasaannya, kepuasannya, kantongnya, sampai lebih jauh lagi..dia merasakan bagaimana perputaran uang bisa mempengaruhi atmosfer lingkungan menjadi bahagia atau pun merana. Sehingga ia tidak ragu untuk mengajak teman-temannya yang baru lulus kuliah untuk masuk dan berkontribusi di dunia tim sales, untuk menolong masyarakat perekonomian kelas bawah.
                Pertama kali menginjakkan kakinya di Kota Purwakarta, yang tidak sesuai dengan harapannya. Ia merasa kecewa. Mengapa tidak  ditempatkan saja di Jakarta yang dekat kantor pusat atau kota lainnya. Pokoknya kota yang rame. Ada tempat  hiburannya, malnya, bioskopnya. Namun, yang namanya surat penempatan kerja sudah tidak bisa ditawar lagi. Kemampuan Diot adalah pandai bernegosiasi ke instansi-instansi pemerintahan. Tapi sayang kemampuannya itu belum bisa  ia gunakan. Para instansi seperti kekurangan uang dalam artian sedang defisit. Seolah-olah menunggu pemulihan. Alih-alih kabarnya ternyata karena  Bupati Purwakarta dan sebagian konco-konconya, tepat setelah pergantian periode, terkena bui  karena tersandung kasus korupsi. Para Institusi itu sedang menunggu tindakan bupati yang baru terpilih. Periode transisi itu beku, tidak ada pembangunan pabrik baru, perumahan, hotel-hotel, kafe-kafe dan toko-toko. Kata para pejabat tender di bagian institusi hal itu terjadi karena masih proses cuci piring dari bupati lama ke yang baru, belum ada anggaran. Begitu parahkah dampak  korupsi ke perputaran uang di suatu daerah? Meskipun hal itu dilakukan segelintir orang? Bagi siapa pun suasana tidak akan kondusif normal ketika ada  yang berkorupsi, bukan?
                Lupakan tender-tender. Diot mencoba peruntungan di tempat yang lain. Ia mencoba ke pasar-pasar tradisional. Langsung mendatangi  pasar di tengah kota, yaitu Pasar Rebo. Ia terkaget pertama kalinya. Datanya tidak cocok antara list costumer base dan kenyataan. Pada data list hanya tertera satu toko, ternyata kenyataannya di sana terdapat sebuah pasar dengan puluhan kios sembako. Mengapa pasar sebesar itu belum terdaftar? Segala cara ia lakukan untuk menemukan jawabannya. Sahutan dari sales admin distributor cukup menohok. Ternyata pasar itu disembunyikan datanya untuk menghindari kunjungan  para  manager pusat. Luar biasa memang, kalau begitu alasannya. Ia pun langsung menggarap pasar itu, menawarkan produknya ke setiap toko dan kios. Sedikit demi sedikit pundi-pundi omzet bertambah dengan cara menemukan toko baru  dan kios yang  diregistrasi. Diot sekarang mulai sadar, perbaikan internal lebih penting daripada menyalahkan lingkungan. Peluangnya mendapatkan omzet masih banyak. Menguji keabsahan daftar toko diperlukan sehingga data bisa valid dan meningkatkan kinerja dan omzet.
                Masuk ke pasar tradisional mengajarkan ia mengerti  arti murahnya sebuah kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan sederhana yang dilambangkan  oleh sebuah tawa. Ketika ia mengeluarkan nota tagihan ke pedagang kelontong. Pedagang itu meneriakinya, “Hai, mengapa harga susumu naik terus? Di mana-mana susu itu makin lama semakin turun! Ini kok malah naik!” Diot tertegun memahami  arti perkataan itu. Secara denotatif ia bisa menjelaskan. Hal ‘itu’ bisa dihindari  bila seseorang  rutin fitness menggunakan alat  Cable Cross-ups sehingga dada bisa kencang kembali. Namun, sebelum mulutnya terbuka untuk  menerangkan hal itu, ia melihat kuli angkut dan tukang parkir yang  tertawa. Ia pun jadi tahu itu hanyalah gurauan. Tidak  perlu ditanggapi. Cukup balas senyum saja.  Asalkan  semua  tagihan dibayar, perputaran uang kembali lancar.
Candaan di pasar memang barbar. Tetapi  bisa membuat  orang melupakan suasananya. Suasana lalu-lalang beserta  bau sampah yang menyengat. Melupakan peluh yang bercucuran. Melupakan berita hoaks.  Melupakan kebejatan pejabat yang berkorupsi. Melupakan terik mentari yang membakar kulit dan problem hidup lainnya. Pernah di suatu peristiwa, Diot sangat mencerna dan merenungi pertanyaan dari seorang  kakek yang berusia delapan puluh tahunan, yang masih kuat berprofesi sebagai pedagang kopi susu seduh yang berkeliling ke setiap kios. Dengan tangannya yang bergetar, si kakek mengeluarkan uang  receh untuk membeli produk susu saset  di genggaman  tangan Diot, lalu sang kakek berujar lirih, “Nak, kenapa yah aku minum susu kental manis kok keluarnya masih encer ?” Diot diam tanpa ekspresi, tetapi bibirnya menyeringai. Di hatinya tertancap rasa bangga, ternyata produk susu saset jualannya membantu perekonomian si kakek sepuh itu, meski terasa  keki juga karena si kakek masih ganjen dalam candaannya. Ia pun terbahak  bersama. Diot berpikir  mungkin itulah yang membuat sang kakek  panjang umur dan terlihat sehat, berkat banyak gerak, suka bercanda dan ramah. Sebuah filosofi  hidup dari pasar di hari terakhirnya  acting sebagai  salesman.
Diot sudah menjadi supervisor. Target naik  terus sesuai dengan gajinya. Ia harus berpikir lebih luas lagi. Tidak hanya menggarap pasar tradisional dan toko-toko modern trade yang harus ia bina untuk bisa mengorder terus. Tetapi, dia juga harus mulai menjelajah setiap kecamatan mana saja yang belum dikunjungi oleh timnya. Ia melihat peta dan fokus terhadap  jumlah penduduk, lalu dikalibrasikannya untuk mengetahui estimasi jumlah  toko yang ada di sana. Dengan cara seperti itulah ia menemukan  Kecamatan Sukasari yang belum tergarap. Diot pun menuju ke sana, namun alangkah disayangkan area Kecamatan Sukasari yang berseberangan dengan Kecamatan Jatiluhur itu tersekat oleh Waduk Jatiluhur yang luas. Transportasi menuju ke sana bila mau cepat  harus menggunakan  perahu motor, yang berukuran panjang sembilan meter dan lebar satu meter. Sedangkan ia bersama driver colt pembawa barang. Hal yang mustahil menyeberang ke sana. Ia pun bertanya sana-sini,  diketahuilah salah- atu jalan darat menuju ke sana harus melalui Desa Jatimekar, kalau  di sana  desa itu terkenal karena ada pabrik PT Texfibre.
                Mudah bagi Diot untuk menemukannya karena koperasi PT Texfibre sudah menjadi daftar langganannya. Tetapi, alangkah kagetnya ketika  mengetahui akses menuju Sukasari  adalah jalan yang sering ia lihat. Jalanan  tanah berbatu.  Ia mencoba turun dari mobil menuju jalan penghubung itu, benar saja jalan masih belum diaspal,  samping jalan masih bukit tanah mengeluarkan air tanah freatik meleber  membasahi jalan. Penduduk sekitar mengatakan itu bukan jalan,  tapi sungai yang kering. Bahaya bila dilewati dan belum ada penerangan bila malam. Alternatif lain harus memutar ke arah Karawang via tol.  Alangkah jauhnya. Masih Kabupaten Purwakarta tetapi harus lintas kabupaten lain untuk mencapainya. Perputaran ekonomi cukup sampai di sini karena infrastruktur yang kurang memadai.
Sebelum Diot menuju mobil colt-nya ia bertemu dengan penduduk Kecamatan Sukasari yang memakai motor. Terlihat ban motornya dipenuhi oleh tanah liat, sebut saja Pak Boyi. Ia bercerita, “Betul Pak, kalau akan naik mobil lewat sini, riskan! Jalan rusak parah. Kami di sini kesusahan juga buat bela-beli suatu produk. Contohnya harga semen di desa kami bisa lebih mahal 40% daripada di Jatiluhur. Produk hasil alam kami, bambu juga menjadi mahal ketika sudah masuk ke kota karena ada biaya tambahan transportasi. Jadi, kami tidak bisa bersaing dan tetap jadi desa tertinggal. Anak-anak pergi ke sekolah pun juga memiliki resiko, sebagian harus bulak-balik memakai perahu kayu. Padahal masih satu kabupaten. Diot memahami dan menceritakan juga niatnya yang mau berjualan ke area Kecamatan Sukasari itu. Lalu Pak Boyi ingin melihat produk-produk yang akan dijual oleh  Diot. Ia mengatakan produk-produk tersebut laku di areanya hanya saja  belum ada salesman  yang datang ke sana. Pak Boyi pun membeli produk sachet susu sebanyak empat karton, lalu disatukanya bersama barang-barang lain di dalam tas obroknya. Rupaya ia baru saja ke Pasar Jumat Purwakarta untuk membeli kebutuhan warungnya. Sebelum meninggalkan Diot, Pak Boyi memberikan pesan, “Tolong sampaikan saja yah bila ketemu para pejabat atau investor. Di sana perlu pembangunan. Lihat saja di peta daerahnya potensi wisata karena separuh wilayahnya di pinggiran Danau Jatiluhur.”
Diot menghela nafas.  Kerjanya sebagai sales bisa juga sebagai penyambung aspirasi masyarakat yang ditemuinya. Nalarnya  membisikkan bahwa sebuah usaha tidak akan mengingkari hasil. Meskipun gagal ke  Sukasari produknya tetap saja ada  yang beli. Ia bertaruh di hatinya, bila ia mencapai ke sana ratusan karton produknya pasti terjual. Ia memutar balik mobil colt-nya. Semangat dan ambisinya berhenti  lantaran jalur  transportasi tidak sesuai kenyataan dan tidak segampang yang tergambar di peta. Ia mengharapkan semoga suatu saat nanti bupati baru dan pemerintah pusat membuka jalan licin penghubung antara Jatiluhur dan Kecamatan Sukasari. Masalah prasarana jalan mempengaruhi suatu perekonomian di daerah terutama pedesaan. Bukan hanya itu, masalah gizi dan pendidikan pun bisa ikut dipengaruhi.

Matahari sudah tepat di atas kepala, waktunya  makan siang.  Sang supir truk menganjurkan makan siang di sekitar terminal Jatiluhur. Di sana  parkir mobil sangatlah luas. Di samping terminal itu ada warung nasi yang terkenal dengan sambel dadakannya. Beberapa orang sudah mengantri untuk santap siang. Beberapa orang juga mengantri untuk  menjual hasil tangkapan Ikan. Ternyata Waduk Jatiluhur multifungsi, selain sumber air di Jawa Barat dan pembangkit tenaga listrik juga sebagai sumber perekonomian masyarakat sekitarnya. Pemuda yang belum mempunyai pekerjaan atau orang tua yang sudah pensiun  mencari uang tambahan dengan cara memancing ikan. Lalu menjualnya ke rumah-rumah makan. Menurut Ibu-ibu kegiatan itu sangat positif dibandingkan ikut-ikutan ormas berbahaya yang meresahkan masyarakat yang cinta damai. Kegiatan memancing bagi yang muda sebagai kegiatan pelipur hati manakala tidak ada  kegiatan  atau pun sedang menunggu lowongan kerja di pabrik-pabrik. Begitulah cerita si Ibu Menor pemilik warung makan.
Ibu Menor suka bercerita. Ketika menggoreng ikan ia mengeluh, “Peternak ikan keramba Jatiluhur sekarang pada kuatir.  Ada jenis ikan baru di waduk yang memakan ikan peliharaan. Duh, apa yah.. namanya? Ikan…ikan elevator! Eh itu mah tempat naik  ke lantai atas di Yogya Supermarket,” katanya tersipu malu.
Seorang gadis berpakaian perawat RSUD yang ngantri makanan ikut menjawab dengan tersenyum geli, “Ikan inkubator, Bu!”
Supir  truk sambut menjawab, “Ikan karburator, Bu.”
“Eh, si Akang mah salah! Itu tuh ikan kalkulator,” kata kasir sambil menggunakan alat hitung itu untuk menjumlahkan  harga pada sebuah nota. Diikuti gerai tawa seisi rumah makan.
        Diot tersenyum geli. Aktivitas komedi seperti itu, mungkin  tidak akan pernah didapat pada  orang yang bekerja di kantoran. Komedi kespontanan alami yang bisa  mengalahkan acara komedi yang  terkesan kaku di TV. Bayangkan untuk menyebut ikan aligator saja bisa sangat luar biasa! Jawaban yang terlontar sesuai dengan keahlian penjawab masing-masing. Kealamiannya membuktikan bahwa manusia bisa  juga salah berasumsi karena dikerangkeng oleh keahliannya masing-masing.
Ikan aligator, ikan tamu di Waduk Jatiluhur. Yang populasinya sekarang justru   merugikan habitat  ikan aslinya. Hasil panen peternak ikan nila menurun. Diduga ikan aligator inilah pemangsanya. Bermula dari seseorang menaruh ikan hias  aligator itu di keramba dan lepas! Ikan aligator bisa tumbuh sampai satu meter dengan moncong mulut seperti buaya. Para pemancing dan peternak sedang memburu ikan aligator ini untuk diamankan. Tidak disangka faktor eksternal ketidaktahuan seseorang mengenai  Ikan ini serta  tidak melapor ke badan pengawas terkait membuat perekonomian peternak ikan terganggu. Perenungan baru lagi bagi Diot, bahwa ketidaktahuan, kecerobohan dan kelicikan bisa merugikan banyak orang dan mempengaruhi kehidupan perekonomian mereka. Hatinya membenarkan, karena di kehidupan nyata banyak sekali permasalahan   dari ketidaktahuan, kecerobohan dan kelicikan, seperti yang terjadi di pelanggaran hak cipta, apartemen yang tidak  jadi dibangun padahal uang  sudah masuk ke rekening pengembang. Korupsi yang menguntungkan beberapa orang saja-menggangu daya beli dan pola konsumsi korbannya!
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi perputaran uang di masyarakat yang sangat berpengaruh kepada daya beli. Dan menjadi  seorang sales bagian  lapangan  akan  lebih merasakan  bila  ada suatu peristiwa terjadi di suatu daerah akan berdampak pula pada pola konsumsi masyarakatnya. Terjadi hukum timbal balik. Kejadian-kejadian begitu bersinergis  saling mempengaruhi. Ada suatu pelajaran lagi  bagi Diot, suatu kejadian membawa keberuntungan. Oleh karena itu  ia berani membeli rumah dan mobil  dengan menggunakan fasilitas  cicilan di bank. Ada suatu penyebab penjualan susu sasetnya di Kecamatan Jatiluhur meningkat sampai 325%! Bukan saja karena sebagian  ikan aligator sudah tertangkap warga. Tetapi ada peristiwa yang lain  lagi, adanya pembangunan pabrik   yang berasal dari  investor Korea  Selatan di Kecamatan Jatiluhur, munculnya pabrik baru  PT Win Texile .
PT Win Textile yang menyerap tenaga kerja, di gelombang pertama merekrut enam ratus pekerja per satu gedung dari  rencananya yang akan dibangun empat gedung. Penghasilan dari pekerja baru sangat terasa mempengaruhi daya beli dan perekonomian setempat. Rumah-rumah makan bermunculan sehingga para peternak dan pemancing ikan bisa menjual produknya lebih luas. Para atlet dayung pemenang medali emas  bisa menginvestasikan uangnya membangun kos-kosan. Kafe-kafe bermunculan. Perumahan-perumahan mulai dibangun. Jalan-jalan diperbaiki. Kota menjadi begitu hidup. Pengaruh sektor riil buat perekonomian rakyat kecil begitu terasa. Bayangkan bila ada suatu  program pemerintah, satu pembangunan pabrik di satu kecamatan di daerah terpencil?
Target distributor yang dipimpin Diot  tercapai terus. Diot merasa tidak boleh bermanja lama di departemen sales. Ia betekad untuk terus mencapai target dengan cara pergi ke lapangan untuk  mengembangkan area, membuat dan mengusulkan  promo yang sesuai dengan jenis toko, mengevaluasi kinerja salesman supaya efektif dan efisien dengan terus memberikan field training  serta membuat  kejutan-kejutan hadiah buat salesman. Ia berencana mengajak semua tim salesman distributor untuk makan malam sebagai reward  masuk target di tahun ini. Acara dan tempat diserahkan kepada para juru jual itu. Undangannya berada di salah satu restoran di jalur Pantura, tepatnya di Patok Beusi. Tidak semua manusia beruntung mengetahui tempat  tempat Indah dan aman seperti  tempat makan dan hiburan di ibu kota. Juga tidak semua manusia bisa mengecap pendidikan yang tinggi. Di daerah  terpencil para salesman dan supir truk, yang rata-rata lulusan sekolah dasar sampai menengah  mempunyai cara sendiri untuk mengalihkan sementara beban hidupnya dengan cara bersenang-senang di restoran karoke berdinding setengah bilik  kayu. Menyanyi adalah ekspresi bebas mereka untuk melepaskan penat dari himpitan hidup.  Khayalan mereka   bisa menyerupai  orang yang   hidupnya enak di  acara–acara TV yang sebenarnya sudah di setting . Lampu-lampu berwarna-warni, semua orang harus berwajah gembira, ada artis-artis berpakaian mewah. Hanya saja artis di sini adalah gadis-gadis desa yang dipermak make up semampunya, kadang cocok, kadang malah ada yang seperti topeng. Diot tertegun manakala artis-artis itu datang berperawakan sintal  memakai pakaian transparan berfuring. Melihat Diot masih mengamati, salesman di pinggirnya berkata, “Kenapa Boss? Ada yang bulat,tapi bukan tekad yah?”
Diot melotot. Sang salesman merasa bersalah lalu menghibur sambil terkekeh, “Perputaran perekonomian Bos! Ayo diminum susu kopinya, jangan pakai sedotan yah.”

Keterangan* :
ATL adalah kependekan above the line: Aktivitas marketing atau promosi yang biasanya dilakukan oleh manajemen pusat sebagai upaya membentuk brand image yang diinginkan, contohnya adalah iklan TV, tema iklan radio, membranding toko (dengan spektrum  dan nomor jenis warna yang sudah disetujui), billboard di pinggir jalan dengan warna yang sesuai, kriteria pemilihan ambasador, penentuan maskot produk, dll.
BTL adalah kependekan dari below the line : Aktivitas marketing yang bisa dilakukan tingkat lokal yang  berkedudukan di Head Office, dan biasanya diserahkan kepada manager
atau supervisor lokal misalnya mensponsori seminar lokal, pemilihan SPG/SPB untuk  event,
membagikan sarana promosi dan sampel  produk. mensponsori  narasumber lokal,
menggunakan bujet dana taktis dengan jumlah maksimal yang sudah ditentukan